LANGGUR,POJOKMALUKU.COM – Sasi dan Sumpah Adat diambil sebagai solusi penanganan konflik berkepanjangan di Kabupaten Maluku Tenggara (Malra). Konflik yang telah menelan korban jiwa itu dinilai dapat diselesaikan dengan pendekatan adat.
Keputusan pemberlakuan sasi dan Sumpah Adat ini lahir dari pertemuan Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara bersama Forkopimda dan para raja se-kabupaten Maluku Tenggara.
Pantauan media ini, sasi sumpah adat telah diberlakukan. Ini ditandai dengan penanaman sasi (Hawear) pada lima titik yang merupakan tempat dimana biasa terjadi pertikaian antar kelompok masyarakat.
Lima titik yang dipasang hawear (sasi adat) yang pertama setelah disumpah adat raja yab faan Patrisius Renwarin menanam sasi dan emas murni pada landmark setelah sasi lainya dibawa ke lampu merah ohoijang, depan sekretariat Partai Golkar lanjut ke depan Toko Tera dan terakhir di kompleks kalwedo ohoijang.
Lima titik itu ditanami sasi karena setiap masalah pertikaian terjadi lima titik itu merupakan tempat biasanya pertikaian terjadi.
Raja Faan Patrisius Renwarin menjelaskan, pertikaian yang berkepanjangan dan mengakibatkan korban jiwa sehingga keputusan sasi sumpah adat diambil.
“Kurang lebih satu minggu setelah rapat koordinasi di kantor Bupati, kami menerima kepercayaan itu dan saya dengan orang kay (Kepala ohoi) Langgur kita mulai dengan langkah pendekatan yang akan kita laksanakan hari ini,” tandasnya
Menurutnya, memang langkah yang diambil sempat menimbulkan kontroversi, namun pada akhirnya, melahirkan kesepahaman bahwa sasi sumpah adat merupakan solusi untuk mencegah terjadinya konflik berkepanjangan.
“Pemasangan hawear (sasi adat) ini tujuannya adalah untuk menghentikan pertikaian kedua belah pihak dan langkah yang kita ambil ini baik,” katanya.
“Kalau ada yang usil, merusak, maupun tidak mengindahkan sasi adat hari ini resikonya ditanggung sendiri karena sasi adat tidak main-main,” tegas raja Faan.
Raja Faan juga menjelaskan bahwa ternyata informasi dari kedua belah pihak yang diterima olehnya bahwa pertikaian berjalan ini sudah berlangsung selama 25 tahun mulai dari perkelahian kosong sampai sekarang sudah menggunakan alat tajam hingga senjata lalu sampai aparat anggota kepolisian juga korban.
“Dan selama 25 tahun baru hari ini berdasarkan kesepakatan yang di percayakan oleh pak bupati dan juga kelompok muda pada pertemuan tanggal 17 Maret kemarin maka kami mengambil langkah. Kalau seandainya sudah diberikan lebih awal cuma kesesatan karena ini 25 tahun waktu yang terlalu lama,”tuturnya.
Renwarin menjelaskan juga, ritual adat pemasangan hawear dirangkai sumpah adat. Sumpah adat itu akan dilakukan untuk semua orang, baik kita yang berada di tanah ini maupun yang berada di luar.
“Berlaku bagi semua warga Kei. baik yang lahir di sini ataupun yang pernah makan minum hasil dari sini lalu melakukan hal-hal yang tidak baik yang kemudian mengakibatkan jatuhnya korban jiwa anak-anak Kei, akan menanggung akibatnya sendiri,” jelas Renwarin.
“Prinsipnya, siapa yang menabur dia akan menuai hasilnya. Kalau hukum positif ada klasifikasi ataupun di bawah umur siapapun kau dan kau bersalah tetap ada hukuman, ada sanksinya. Kalau tidak, nanti kita semua capek apalagi aparat penegak hukum,” sambungnya.
Dikatakan, esensi dari sasi dan Sumpah Adat adalah bagaimana melahirkan kedamaian di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Terkhusus dari mereka yang bertikai. Dan, kedamaian dimaksud adalah kedamaian yang lahir dari hati nurani, yang tulus dan Ikhlas,” katanya.
Renwarin juga menjelaskan untuk pertama kita semua Bupati pemerintah daerah,mereka yang melakukan pertikaian ini juga tidak ada punya urusan dengan soal tanah tidak ada hanya semata-mata untuk menghentikan pertikaian. (PM-Dewi)













Discussion about this post