NAMLEA,POJOKMALUKU.COM – Penanganan dugaan tindak pidana korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif Pemerintah Kabupaten Buru (TA 2019–2022) senilai sekitar Rp 2,5 miliar, yang sempat meningkat ke tahap penyidikan, kembali memicu kecemasan publik Meski pemeriksaan terhadap mantan Wakil Bupati Amustofa Besan telah dilakukan dan berkas perkara dilaporkan mengandung sejumlah dokumen penting, proses hukum tampak berjalan lamban.
Kegundahan semakin menjadi setelah Kejaksaan Negeri (Kejari) Buru menunda agenda pemeriksaan lanjutan beralasan dinamika politik pilkada, sebuah alasan yang kini telah usai pasca-PSU Pilkada pada 5 April 2025.
Ketua IMM Cabang Buru, M Kadafi Suryadi Alkatiri, secara tegas menilai penundaan tersebut sah sah saja namun ini kan sudah selesai proses pilkada, dalam paradigma negara hukum.
“Jika penegakan perkara ini terus ditunda tanpa alasan substantif, publik kuat menilai adanya indikasi Kejaksaan ‘bermain-main’ dalam penanganan. Bahkan ada kemungkinan institusi penegak hukum dalam hal ini kejaksaan tidak punya taring dalam penegakan hukum,” ujar Kadafi Selasa (30/9/25).
Secara hukum, kata Kadafi, perkara yang telah dinaikkan ke penyidikan menunjukkan bahwa jaksa telah menemukan cukup dasar awal untuk meyakini adanya peristiwa tindak pidana. Dalam konteks UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (Tipikor), praktik pengajuan SPPD tanpa perjalanan nyata dan pencairan anggaran untuk kegiatan yang tidak dilaksanakan memenuhi pola penyalahgunaan keuangan negara yang dapat dipidana (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor). Oleh karena itu, menurutnya, penundaan eksekusi hukum tanpa kejelasan justifikasi menggerus prinsip kepastian hukum (rechtszekerheid) dan equality before the law.
“Kami mengingatkan, hukum tidak boleh tunduk pada alasan politik yang berlarut larut, Jika Kejaksaan menunda karena alasan politik praktis, maka wibawa institusi penegakan hukum akan runtuh, IMM menuntut transparansi dan tindakan tegas, tetapkan tersangka jika bukti telah memenuhi syarat pembuktian,” tegas Kadafi.

Kasi Pidsus Kejari Buru, Jones Dirk Sahetapy, ketika dihubungi, menyatakan komitmen institusinya untuk menuntaskan perkara itu.
“Setelah PSU, kami akan menjadwalkan pemeriksaan lanjutan. Sejumlah dokumen dan keterangan saksi telah kami kantongi. Kami sedang menguatkan pembuktian untuk penetapan tersangka,” kata Jones, memberikan penegasan formal tentang kelanjutan proses penyidikan.
Pernyataan Jones menimbulkan pertanyaan prosedural, bila sejumlah dokumen dan saksi telah diperiksa, berapa hambatan substantif yang masih ada sehingga penetapan tersangka belum juga dilakukan? Menurut prinsip dominance of evidence dalam praktik pidana, kelanjutan penyidikan membutuhkan klarifikasi alat bukti yang cukup, namun keterlambatan tanpa penjelasan rinci memunculkan narasi publik bahwa ada faktor non-legal yang mempengaruhi proses.
Menanggapi jawaban Kejari, IMM mengeluarkan ultimatum politik-hukum. Kadafi menyatakan bahwa IMM akan mengawal perkara ini secara intensif dan akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran apabila Kejaksaan tidak menunjukkan bukti kesungguhan berupa penetapan tersangka dalam waktu dekat.
“Ini bukan ancaman politik kosong, ini bentuk kontrol sosial Jika penegak hukum tidak berjalan maksimal, Demonstrasi akan kami jalankan secara damai dan terorganisir—sebagai bentuk tuntutan rakyat atas keadilan,” kata Kadafi.
Permintaan IMM bukan sekadar tuntutan moral, melainkan panggilan atas tanggung jawab bersama, dan Kejaksaan sebagai Dominus Litis pengendali perkara yang harus bersikap independen, transparan, dan akuntabel, dan Kegagalan menindak tegas kasus ini berisiko memperkuat kultur impunitas daerah, mengikis kepercayaan publik, dan menghambat mekanisme akuntabilitas anggaran publik.
Hingga publik menuntut jawaban konkret, dua pertanyaan mendasar tetap menggantung, apakah Kejari Buru akan segera menutup lembar penundaan dengan menetapkan tersangka jika bukti telah cukup, ataukah proses hukum akan larut dalam dinamika yang tak beralasan? tukas Kadafi.(PM-13)

Discussion about this post