Catatan Redaksi,Rabu 3 September 2025.
AMBON,POJOKMALUKU.COM – Ada pemandangan yang jarang terlihat di tengah hiruk-pikuk demonstrasi mahasiswa, Cipayung Plus maupun unsur masyarakat Pada 1 September dan kembali pada 3 September 2025, Ketua DPRD Provinsi Maluku, Benhur George Watubun, hadir di tengah kerumunan massa aksi. Ia berdiri tegak, tidak bersembunyi di balik pagar besi, tidak pula menyerahkan semuanya pada aparat keamanan. Benhur memilih wajah demokrasi yang sesungguhnya: membuka telinga, membuka hati, dan membuka ruang dialog.
Di bawah terik matahari maupun guyuran hujan, mahasiswa menyuarakan keresahan mereka tentang kondisi Maluku. Tuntutan demi tuntutan dilontarkan dengan suara lantang. Namun, di hadapan gelombang aspirasi itu, Benhur tidak gentar. Ia sabar mendengar satu per satu poin tuntutan, mencatat, dan meyakinkan bahwa suara mahasiswa tidak akan berakhir sebagai gema yang hilang di udara. Baginya, DPRD adalah rumah rakyat, dan pintunya harus selalu terbuka bagi siapa pun yang datang dengan itikad memperbaiki negeri.
Janji Benhur bukanlah sekadar kata-kata manis untuk meredam emosi massa saat itu, Ia menunjukkan konsistensi, seluruh tuntutan para pengunjuk rasa ia bawa secara utuh ke meja sidang paripurna DPRD. Dalam forum terhormat saat rapat paripurna penyampaian KUA-PPAS Perubahan APBD Provinsi Maluku Tahun 2025, ia menyampaikan langsung kepada Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa. Tidak ada yang terpotong, tidak ada yang disembunyikan. Semua aspirasi mahasiswa diteruskan dengan jujur,titik koma pun disampaikan sebagaimana disuarakan di depan gedung rakyat itu.

Sikap ini memperlihatkan wajah lain dari politik yang sering dicurigai hanya penuh kepentingan. Benhur Watubun ingin membuktikan bahwa DPRD bukan menara gading yang jauh dari realitas, melainkan institusi representasi yang wajib mendengar denyut nadi rakyat. Ia memahami, mahasiswa bukan sekadar kelompok yang berteriak di jalan, melainkan bagian dari kekuatan moral bangsa yang harus didengar dengan kesungguhan.
Catatan redaksi ini ingin menekankan, keberanian untuk hadir di tengah massa adalah simbol kejujuran politik. Benhur memperlihatkan bahwa legitimasi seorang pemimpin bukan hanya berasal dari jabatan, tetapi juga dari keberanian menatap wajah rakyat yang kecewa, marah, bahkan berteriak menuntut perubahan. Itulah ujian sesungguhnya bagi para pemegang kekuasaan, berani mendengar suara paling bising sekalipun.
Kini, publik akan menanti tindak lanjut berikutnya. Apakah tuntutan mahasiswa benar-benar diwujudkan dalam kebijakan dan program kerja? Apakah suara lantang dari jalanan itu dapat diubah menjadi keputusan nyata yang berpihak pada masyarakat? Semua mata tertuju pada DPRD dan pemerintah provinsi. Benhur telah meletakkan dasar kepercayaan, kini saatnya membuktikan bahwa aspirasi yang disuarakan dengan keringat dan air mata mahasiswa tidak berhenti sebagai catatan sidang semata.
Dari momentum inilah kita belajar, demokrasi hanya bisa tumbuh bila ada keberanian untuk saling bertemu. Benhur Watubun sudah membuka jalan itu, dan semoga langkahnya menjadi contoh bagi para pemimpin lainnya.(RED)

Discussion about this post